Tetaplah Hidup Jujur
Bahan Dasar Bulan Keluarga Tahun 2012, dikutip apa adanya dari Bahan MPHB Sinode GKJ di http://gkj.or.id/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=576
Pada halaman depan sebuah Sekolah Dasar di Pematang Siantar, Sumatera Utara, terpampang sebuah baleho besar bertuliskan “HASINTONGAN DO BONA.” Tertarik dengan tulisan itu, saya bertanya kepada Pak Sagala, pengendara mobil yang asli bersuku Batak. Apa gerangan arti tulisan tersebut? Panjang lebar ia menjelaskan. Ia memulainya berdasarkan kata demi kata. HASINTONGAN, salah satu artinya adalah kebenaran. DO adalah penekanan, bisa disejajarkan dengan kata “lah” dalam bahasa Indonesia. BONA berarti permulaan atau awal. Secara harafiah, kalimat itu berarti KEBENARANLAH AWAL. Namun, katanya lagi, seluruh kalimat itu secara utuh berarti SEMUA DIAWALI DENGAN KEJUJURAN.
Pada awalnya saya agak bingung dengan permainan kata tersebut. Mengapa KEBENARAN bisa dipahami dengan KEJUJURAN? Menurutnya, kesulitan terletak pada kata hasintongan yang bermakna luas. Percakapan lanjutan makin meyakinkan saya, KEJUJURAN dan KEBENARAN adalah dua hal tak terpisahkan. Menariknya, ungkapan itu diletakkan di halaman sebuah Sekolah Dasar. Melalui kalimat itu, ada harapan besar masa depan anak-anak lulusan sekolah itu tetap berpijak pada kejujuran. Sebuah harapan yang mulia. Semoga harapan itu tidak menjadi sia-sia. Kejujuran memang perlu diperkenalkan semenjak dini, agar terus melekat erat dalam diri setiap insan.
Marak
Kejujuran agaknya menjadi tema yang belakangan terus menerus menghiasi berbagai media massa. Di mesin pencari Google setidaknya terdapat 2.230.000 artikel tentang kejujuran! Maraknya tulisan tentang kejujuran menyiratkan adanya persoalan besar tentang kejujuran. Dalam dunia politik, berulang kali seruan kejujuran dilontarkan para tokoh agama dan masyarakat, terkait dengan para politisi yang disebut-sebut para tersangka korupsi. Seruan itu juga terdengar lantang di media jejaring sosial. Dilihat secara sekilas, agaknya ada persoalan besar tentang kejujuran di aras pemimpin politik kita.
Kehidupan bergereja pun agaknya tidak luput dari persoalan kejujuran. Memang hal ini belum dianalisa secara sistematis. David Johnson dan Jeff vanVonderen[1] pernah menelusuri kenyataan bergereja yang diwarnai dengan apa yang disebutnya sebagai pelecehan spiritual (spiritual abuse). Telusuran itu membuat kita menemukan betapa ketidakjujuran kerap terjadi dalam pelayanan gereja. Bahkan ketidakjujuran itu dikemas dalam rajutan teks-teks suci. Mereka mengatakan, teks kitab suci itu dipakai untuk “mengendalikan orang lain… melindungi citra mereka… membenarkan doktrin yang mendasari pelayanan… mempertahankan pemasukan dana… membangun kerajaan-kerajaan religius….”[2] Contoh yang lain, O. Wesley Allen Jr., seorang pakar homiletika, dalam kuliah umumnya di Palmer Theological Seminary, menyampaikan materi yang diberi judul provokatif: “Liar, Liar, Pulpit on Fire – Homiletical Ethics and Plagiarism.”[3] Melalui makalahnya Allen menyoroti plagiarisme (perilaku menyontek) dalam khotbah yang marak terjadi. Baginya plagiarisme adalah kebohongan. Jika mimbar saja – yang kerap dianggap kudus – menjadi ajang pembohongan, bagaimana dengan yang lain?
Pentingnya kejujuran inilah yang membuat kami, para penyusun Bahan Bulan Keluarga 2012, ingin menyapa anggota jemaat/warga gereja. Bukan dengan ajakan, melainkan dengan seruan: TETAPLAH HIDUP JUJUR!
Tempat Pembelajaran
Sore hari yang indah. Jimmy sedang terkurap menonton TV, menyaksikan film kesukaannya. Wisnu, ayahnya, tengah asyik membaca Koran. Telepon berdering. “Jim, angkat telepon itu. Kalau dari pak RT bilang Papa belum pulang kerja.” Ternyata benar, pak RT yang menelepon. Jimmy pun mengatakan persis seperti yang diminta oleh ayahnya. Semua berjalan biasa-biasa. Ketidakjujuran seakan-akan telah menjadi hal yang wajar. Mengalir alamiah dalam realitas hidup berkeluarga. Menjangkiti semua strata sosial, agama, dan sebagainya. Anak-anak pun tak luput pula dari kenyataan ketidakjujuran itu.
Majalah Parents edisi Mei 2000 melansir hasil penelitian tentang kebohongan anak yang dilakukan di Robert Wood Johnson Medical School, New Jersey.[4] Dalam penelitian tersebut, sejumlah anak pra sekolah diberi informasi tentang adanya sejumlah mainan dalam kotak di hadapan mereka. Mereka diminta untuk tidak mengintip mainan dalam kotak tersebut. Ketika anak-anak ditinggalkan dan diamati lewat video, ternyata 90 persen anak-anak itu mengintip. Ketika ditanya, hanya 25 persen anak saja yang dengan jujur mengaku telah mengintip. Selanjutnya, hal serupa dilakukan untuk anak berusia enam tahun. Hanya 65 persen dari mereka mengintip kotak mainan itu. Menariknya, ketika ditanya, tidak ada seorang pun yang mengaku!
Kelanjutan penelitian itu menegaskan bahwa kebohongan adalah hal yang wajar pada diri anak. Dilakukan karena pada dasarnya mereka belum bisa membedakan antara impian dan realitas. Bahkan bohong menjadi strategi untuk memecahkan persoalan atau menghindari hukuman. Jadi, kebohongan adalah perilaku yang wajar pada diri anak. Kebohongan adalah insting alamiah hewani![5]
Menjadi tidak wajar ketika perilaku itu terus berlanjut. Bahkan berkembang biak karena disuburkan oleh ketidakjujuran yang kerap dilakukan orang besar di sekitarnya. Di banyak kasus, pembelajaran ketidakjujuran itu disertai dengan bumbu hadiah, jika rahasia dijaga baik. Entah itu berupa senyuman, kedipan mata maupun permen dan mainan. Kebohongan yang manis tengah ditumbuhkan dalam diri anak.
Apakah Kejujuran Itu?
Ponirun dan Jono mengunjungi Tono yang sedang sakit dan dirawat di rumah sakit. Tono bercerita, ada kelainan yang cukup serius pada jantungnya. Jadi mungkin harus dioperasi. “Ton, kamu nggak usah khawatir,” kata Ponirun membesarkan hati. “Kakak saya juga dulu operasi jantung. Di rumah sakit ini pula malah.” “Kakak kamu ada kelainan jantung juga?” Tanya Tono. “Iya. Sama dengan kamu Ton. Mulanya dia suka sesak kalau bernapas. Dada agak sakit. Setelah diperiksa ternyata memang harus operasi jantung.” “Sekarang kakak kamu sudah sembuh?” Tanya Tono dengan penuh harap. “Nggak. Sudah meninggal.”[6]
Apakah yang dilakukan Ponirun adalah sebuah kejujuran? Benar. Jika kejujuran hanya dipahami sebagai mengatakan yang sebenarnya. Kejujuran tidak hanya itu. Dengan indahnya Barbara A. Lewis[7] dalam “nasihat”-nya kepada para remaja berkata: “Jujur artinya lebih dari sekedar mengatakan yang sebenarnya. Kalau kamu jujur, kamu tulus. Kamu menjunjung kehormatan dan keadilan. Kamu dapat dipercaya dan tulus. Dan kamu bukan sekedar jujur di luarnya; kamu juga jujur di dalam hati. Kamu tidak berbohong kepada siapapun, termasuk kepada dirimu sendiri.”
Di sini Lewis menyandingkan jujur dengan karakter lain, yaitu: tulus, menjunjung kehormatan dan prinsip keadilan. Pertanyaan yang perlu ada dalam hati kita adalah: Apakah dalam kejujuran itu ada motivasi yang tulus? Apakah melalui kejujuran, kehormatan orang lain tetap terjaga? Sudahkah kejujuran itu mendorong tegaknya keadilan? Kejujuran, dengan demikian, tidak berdiri sendiri.
Lebih lanjut Lewis membuat semacam studi kasus, tentang seorang guru yang menuduh seorang murid mencuri uang. Pertanyaan Lewis adalah: Jika kamu tahu, siapa yang mencuri, apa yang akan kamu lakukan? Menurut Lewis, jika kita langsung berkata tentang apa yang kita lihat, hal itu akan menghancurkan kehormatan seseorang. Itu berarti kejujuran perlu diimbangi dengan kebijaksanaan, agar kejujuran tidak malah menghancurkan atau kontra produktif. Kejujuran tetaplah menjadi dasar, namun disampaikan dengan bijak! Kejujuran dilakukan tanpa mengadili, menghancurkan dan menindas orang lain.
Kejujuran Dalam Keluarga
Amat menarik, jika kita memerhatikan arti pertama dari kata selingkuh dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), yaitu tidak berterus terang, tidak jujur. Dengan menggunakan definisi itu, kita bisa melihat adanya korelasi antara perselingkuhan dan kejujuran. Jika tingkat perselingkuhan makin besar, maka kita bisa mengatakan tingkat kejujuran makin kecil.
Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Depag, Nasaruddin Umar, mengatakan dalam 5 tahun terahir sekitar 2 juta pasangan menikah setiap tahun, di sisi lain sekitar 200 ribu pasangan juga bercerai setiap tahun.[8] Itu berarti dari 10 pernikahan terdapat 1 perceraian. Menurut Umar, jumlah ini meningkat 100 persen dibandingkan 5 tahun yang lalu. Jika dihitung, berarti setiap tahun ada peningkatan sebesar 20 persen. Perselingkuhan mendapatkan porsi yang besar (kalau tidak terbesar) dari penyebab perceraian itu. Sebagai contoh, di tahun 2007, terdapat 15.771 perceraian. Dari jumlah itu, perselingkuhan menjadi sumber berjumlah 10.444![9]
Dengan melihat data tersebut, kita bisa menduga telah terjadi penurunan tingkat kejujuran dalam rumah tangga. Padahal, kita semua paham, bahwa keluarga adalah pilar utama pendidikan. Ketika nilai ketidakjujuran yang menonjol, kita bisa membayangkan apa jadinya kelak anak-anak kita. Tak pelak lagi, dibutuhkan teguran kepada kita semua, agar kembali menjadi pribadi-pribadi yang menegakkan kejujuran dalam keseharian.
Seruan Hidup Jujur
Tema Bulan Keluarga 2012 adakah sebuah seruan, bahkan teriakan kegeraman kita atas perilaku ketidakjujuran yang makin merajalela. Namun, sebelum kita menunjuk dengan marah pada orang atau kelompok lain yang kita anggap tidak jujur, marilah kita menengok diri kita. Sebagai umat yang mengaku istimewa di mata Tuhan, sudahkah kejujuran menjadi perilaku kita? Sudahkah kejujuran dijunjung tinggi dalam rapat Majelis Jemaat/Majelis Gereja? Apakah kejujuran menjadi bagian dalam karya pelayanan gerejawi kita? Apakah keluarga kita terus berupaya menghidupi kejujuran?
Persoalan inilah yang mau digugat saat ini. Melalui perenungan teks-teks Alkitab minggu demi minggu. Menelusuri pergulatan derita Ayub yang belajar jujur namun tak mujur. Melihat orang kaya yang jujur namun mendewakan kekayaannya. Bercermin dari protes 10 murid Yesus yang tidak jujur, karena sebenarnya mereka pun ingin berkuasa. Belajar dari Bartimeus yang meneriakkan ungkap jujur hasrat kerinduan untuk pulih kepada Tuhan. Tak hanya itu, beberapa segmen usia pun mau disapa melalui Bulan Keluarga ini. Harapannya: tarian kejujuran mulai ditabuh dan gaungnya terus bergema dalam kehidupan keluarga Kristen. Semoga!
[1] Kuasa terselubung dari Pelecehan Spiritual: Mengenal dan Menghindari Manipulasi Spiritual Palsu di dalam Gereja, Jakarta: Nafiri Gabriel, 2000.
[2] Ibid., hal. 118.
[3] Journal Lexington Theological Quarterly, 2006, VOL 41; NUMB 2, pages 65-86.
[4] Chris Verdiansyah (ed), Membangun Komunikasi Bijak Orangtua dan Anak, Jakarta: Kompas, 2007, h. 12-13.
[5] Mark Rutland, Karakter itu Penting, Jakarta: Light Publishing, 2009, hal. 130.
[6] Ayub Yahya, All About Ponirun: 81 humor Seputar Dunia Kerja, Blessing Books, 2007, hal. 81.
[7] Character Building untuk Remaja, Batam: Karisma Publishing Group, 2004, hal. 204.
[8] http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=233540 diunduh Jumat 13 April 2012.
[9] Jost Kokoh, XXX Family Way, Yogyakarta: Kanisius, 2010, hal. 387.