Sejarah GKJ

Oleh: Sigit Heru Sukoco, M.Th

Siang dan malam, sembilan orang dari kalangan terbawah masyarakat Jawa dengan profesi buruh miskin tukang mbatik yang menjadi pembantu Ny. Van Oostrom Phillips di Banyumas, nekad berjalan kaki dalam rombongan kecil menerabas desa-desa dan pegunungan menuju ke Semarang (sejauh sekitar 300 Km) untuk sekedar mendapatkan tanda babtis dari Zendeling NZG W. Hoezoo pada 10 Oktober 1858 karena pemberian tanda babtis di karesidenan Banyumas oleh zendeling tersebut dilarang oleh pemerintah kolonial setempat. Mereka inilah cikal bakal pertama gereja GKJ; GKJ tumbuh pertama kali di kawasan Banyumas.

Cikal bakal kedua adalah dua orang lelaki dan tiga orang perempuan pekerja miskin batur (pembantu rumah tangga)  Ny.Christina Petronella Phillips Stevens di Ambal – Purworejo  yang menerima tanda babtis mereka di Gereja Indische Kerk Purworejo pada 27 Desember 1860.

Dengan demikian harus jujur diakui, bibit kawit dari yang disebut dan menamakan diri Gereja-gereja Kristen Jawa adalah kaum pidak pedarakan lagi pula buta huruf, keluarga para pembantu rumah tangga dan buruh mbatik, anggota masyarakat kelas bawah Boemipoetera jaman kolonial yang paling asor drajade.

Dengan memasukkan para warga Golongane Wong  Kristen “Jowo” kang Merdhiko asuhan Kyai Sadrach Suropranoto yang sangat pantas juga dimasukkan kelompok bibit kawit yang jumlahnya ribuan tersebar di puluhan desa wiwit Segara Lor tekan Segara Kidul, dari kawasan Menoreh, Kedu, Sindoro Sumbing dan Dieng, laladan neng gunung wah neng ngare, gambaran inipun tidak berubah. Mereka juga wong karang perdesan dan wong nggunung  kelas koelie kendho (petani tanpa tanah dan sawah).

Jika kelompok Kristen Simo yang kemudian pindah ke Nyemoh (dekat Bringin Salatiga) binaan Ny.E.J.Le Jolle de Wildt dan Petrus Sadaja (babtis tahun 1855, tiga tahun lebih awal dari kelompok Banyumas) ditambahkan di sini sebagai bibit kawit pun kelas mereka juga tetap sama, kelas rendahan, karena kelompok Simo – Nyemoh inipun berasal dari kaum batur pula, paling jauh termasuk golongan mager sari.

Untuk mengunjungi kebaktian jangan mimpi mereka datang dengan naik andhong berpakaian necis dan beralas kaki. Satu-satunya pilihan yang ada hanyalah  berjalan kaki, lagi pula nyeker, dengan pakaian seadanya ing atase para batur dan petani gurem. Mereka belajar agama Kristen maupun melantunkan kidung pujian hanya bermodalkan apalan, itulah kelebihan mereka sebagai orang buta huruf.

Tumbuhnya kelompok Kristen awal ini segera disusul oleh tumbuhnya kelompok lain hasil pekabaran Injil Nederlandche Gereformeerde Zendingvereniging (NGZV) yang mulai bekerja di Jawa Tengah sejak 1865 di Tegal (Muaratuwa) dan Purbalingga (plus Bobotsari dan Bojong), yang nantinya diambil-alih oleh Zending Gereformeerd Kerken (ZGK) sejak tahun 1896 dan dikembangkan dengan pusat-pusat penginjilan dari kota-kota Purworejo – Temon, Kebumen, Yogyakarta, Surakarta, Banyumas-Purbalingga serta Magelang Temanggung, semuanya di kawasan Jawa Tengah Selatan (Jawa Tengah Utara menjadi ladang pekabaran Injil Salatiga Zending).  Sejak ini muncullah puluhan pepanthan  di sekeliling tiap-tiap pusat penginjilan di luar kelompok yang lama maupun kelompok Wong Kristen Merdhiko. Namun yang jelas, hampir semua warga gereja Jawa ini berlatar belakang petani miskin dan buta aksara. Hanya berkat jasa pelayanan sekolah dan rumah sakit yang diselenggarakan zending, secara lambat namun pasti generasi kedua warga Gereja Jawa bergeser, mereka mulai melek huruf, sebagai akibat pendidikan di sekolah maupun di rumah sakit zending sebagian generasi kedua ini beralih profesi menjadi guru dan perawat serta pegawai berbagai bidang pelayanan masyarakat termasuk di pemerintahan desa. Dari generasi kedua inilah kemudian lahir generasi ketiga warga geraja Jawa  pra dan pasca kemerdekaan yang educated minded, yang dijaman kolonial didorong dan difasilitasi untuk  belajar tidak hanya di Volkschool dan Vervolgschool namun juga di Schakelschool, HIS, MULO, bahkan Kweekschool dan HIK.

Yang jelas pertumbuhan gereja Jawa (di luar Golongane Wong Kristen “Jowo” kang Merdhiko yang masih belum bergabung dalam asuhan zending), apalagi sejak 1900, sangat ditentukan oleh metoda dan realisasi pekabaran Injl Zending ZGK yang tergelincir kepada kenyataan yang menyebabkan gereja Jawa tumbuh dalam ketergantungan yang akut pada para Pendeta Missi dan zendingnya.

Pendewasaan pepanthan Gereja-gereja Jawa pertama kali terjadi atas gereja Purworejo (4 Pebruari 1900) tak lama kemudian disusul pepanthan Temon.  Namun pendewasaan ini ternyata lebih bersifat pamer kebisaan kepada Golongane Wong Kristen “Jowo” kang Merdhiko pimpinan Kyai Sadrach untuk membuktikan bahwa zending tidak bermaksud lain kecuali mendirikan gereja-gereja Jawa dengan pendeta-pendeta Jawa. Tanpa topangan zending, pendewasaan kedua gereja ini hanyalah ketergesaan semata. Mungkin baru pada pendewasaan kelompok Glonggong – Kebumen (3 Nopember 1911) dan kelompok Gondokusuman Yogyakarta (23 Nopember 1913)  pendewasaan gereja ini agak cukup pantas disebut lebih dapat dipertanggungjawabkan. Baru sesudah berjalan 26 tahun  hanya Gereja Gondokusuman yang pertama kali siap memanggil pendeta atas diri Ds. Ponidi Sopater  pada tahun 1926 dari antara 17 gereja Jawa yang sudah didewasakan oleh zending yaitu Purworejo, Temon, Glonggong, Gondokusuman, Solo, Klaten, Tungkak, Patalan, Candisewu, Magelang, Kesingi, Palihan, Kebumen, Grujugan, Purbalingga, Grendeng dan Adireja.

Gereja-gereja ini menggeliat dibawah pimpinan Guru Injil-Guru Injil didikan Opleiding School van de Helper bij de Dienst Woords (Sekolah bagi Pembantu-pembantu Pada pelayanan Firman Tuhan/Sekolah Guru Injil) Yogyakarta dibantu serta oleh guru-guru sekolah zending dan mantri jururawat rumah sakit dan poliklinik zending. Merekalah para penumbuh dan pemimpin gereja Jawa sesungguhnya, namun di bidang dana dan ajaran ketergantungan gereja-gereja ini pada zending ZGK masih merupakan keniscayaan yang tidak bisa ditutup-tutupi.

Jika pada tanggal 17-18 Februari 1931 gereja-gereja Jawa yang saat itu menamakan diri Pesamoewan Kristen “Gereformeerd” ing Tanah Djawi Tengah sisih Kidoel, yang masing-masing mengelompok dalam 5 klasis bersinode pertama di Kebumen, ini menjadi tonggak pertama persidangan sinode Gereja-gereja Jawa Tengah Selatan untuk disusul dengan sinode-sinode berikutnya, walaupun peran serta para Pendeta Missioner ZGK masih cukup besar untuk menuntun para pemimpin gereja Jawa berjalan menapaki kedewasaannya yang masih rapuh ini.

Kedewasaan Geredja-geredja  Kristen Djawa Tengah Selatan (sebutan yang akhirnya sering dipakai) menemukan kesempatan ketika gereja-gereja Jawa harus berjuang menegakkan kehidupannya sendiri saat para Pendeta Missi ditawan oleh pemerintah pendudukan Jepang sejak 1943 dan hubungan dengan gereja Eropa terputus. Saat ini era kemandirian gereja terlihat akan betul-betul mulai dapat dijalani. Namun ternyata gereja Jawa masih harus bersabar. Walaupun Gereja-gereja Kristen Jawa Tengah Selatan berhasil menggandeng saudara-saudaranya  seperti Greja Kristen Jawi Wetan, Gereja Kristen Jawa Tengah Utara – Parepatan Agung,  Gereja Kristen Jawa – Sekitar Muria, Tiong Hwa Kie Tok Kauw Hwee Jawa Tengah serta Gereja Pasundan Jawa Barat dalam lembaga Dewan Permoesjawaratan Geredja-geredja  Protestant di Indonesia  (DPG di Indonesia) yang dibentuk tahun 1946 di Yogyakarta; dan lewat organisasi ini mereka mencanangkan euforia kemerdekaan dengan tidak mau lagi menerima bekas zending-zendingnya, namun keinginan ini harus mengalami sedikit perubahan. Gereformeerde Kerken in Nederland (GKN) dan Nederlandsch Hervormde Kerk (NHK) yang mewakili gereja pengutus masih menghendaki paling tidak adanya kerjasama dalam pekabaran Injil di Indonesia. Basoeki Probowinoto selaku utusan Geredja-geredja Kristen Djawa Tengah Selatan yang menjadi motor DPG ketika hadir sebagai utusan Gereja Jawa dalam Sinode GKN di Eindhoven tahun 1948 harus bersedia melangkah surut  karena dia diingatkan oleh seniornya (S.U.Zuidema)  bahwa jika gereja-gereja Gereformeerd Belanda tidak lagi diberi peran dalam pekabaran Injil sama saja dengan mematikan mereka karena dalam pengertian mereka tidak ada gereja tanpa pekabaran Injil, yang berarti mereka berhenti sebagai gereja missioner. Terpaksa Gereja Jawa harus menerima konsep bekerjasama dengan bekas zendingnya lewat Regionaal Acccord dan Algemene Accord yang ditandatangi di Belanda tahun 1948. Kerjasama ini berlangsung mulai tahun 1950-an saat Geredja-geredja Kristen Djawa Tengah Selatan disatukan dengan Geredja Kristen Djawa Tengah Utara dalam Sinode Persatuan di Salatiga 5 – 6 Juli 1949, dan sejak itu bernama Geredja-geredja Kristen Djawa Tengah (GKDT). Akibatnya sampai tahun 1970 kedewasaan gereja Jawa kembali terbelenggu dan dikerdilkan dibawah supremasi kucuran dana dan tenaga dari partner gereja Eropa. Basoeki Probowinoto sadar akan bahaya ini dan untuk itu pada tahun 1955 dia mengusulkan terobosan baru yang terkenal sebagai Nota Probowinoto, namun kenyamanan yang terlanjur dibentuk lewat kucuran dana yang berlimpah itu sulit untuk diubah. Baru sesudah secara tiba-tiba gereja partner ini menyatakan tidak lagi melanjutkan bekerjasama dalam Pekabaran Injil, justru inilah saat gereja Jawa (sejak tahun 1956 berubah nama menjadi Geredja-geredja Kristen Djawa/GKD) mendapat kesempatan menjalani kedewasaannya yang sesungguhnya dan harus dewasa dalam segalanya.

Waktu terus berjalan. Sesudah memproses gereja-gereja Jawa yang tumbuh dan dikembangkan di antara para transmigran di Sumatra (sejak 1936) menjadi Sinode tersendiri dengan nama Gereja-gereja Kristen Sumatra Bagian Selatan – GKSBS, Gereja-gereja  Kristen Jawa  yang tersebar di enam propinsi di pulau Jawa (Banten, DKI-Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur)  kini berkembang pesat, pada tahun 2006 menjadi 283 gereja, berhimpun dalam 30 Klasis, dengan jumlah warga sekitar 230.000 orang, dari segala lapisan masyarakat, baik dari kalangan lapisan rendah seperti petani kecil, buruh pabrik, pedagang candak- kulak, lapisan menengah seperti pegawai, pengusaha maupun wiraswasta sampai dengan lapisan tinggi pengusaha sukses dan  pejabat tinggi negara, tersebar di berbagai tempat, di kota dan di desa, dengan dilayani 281 pendeta jemaat dan 16 pendeta pelayanan khusus.

Bertumbuhlah GKJ. Biar pelan asal pasti. Tanah garapan masih terbentang luas.

Kepustakaan:

  1. Hadi Purnomo, M.Suprihadi Sastrosupono (ed), Gereja-gereja Kristen Jawa – Benih Yang Tumbuh dan Berkembang di Tanah Jawa, Taman Pustaka Kristen (TPK) Yogyakarta, 1988.
  2. Ph. Quarles van Ufford, “Zending Gereformeerd di Jawa Tengah: Ortodoksi dan Konskwensi-koskwensinya. Dua kasus kristis dalam tahun 1896 dan 1970”, Majalah Peninjau PGI Th.XI, 1+2, 1984.
  3. Rullmann Sr, J.A.C., Ds, Zending Gereformeerd di Djawa Tengah, Zendingscentrum Geredja-geredja Gereformeerd, Baarn.
  4. Wolterbeek, J.D., Babad Zending ing Tanah Djawi.
Dikutip dari : Sinode GKJ
%d blogger menyukai ini: