Pendidikan Yang Membebaskan

Markus 6:30-34. 53-56

 

Seperti kita rasakan bahwa telah lama merdeka, kita masih terbelenggu oleh sistem pendidikan. Ingatlah akan gurauan ‘ganti mentri, ganti kurikulum’, atau ‘pendidikan hanya untuk yang punya duit’. Di sini tampak sekali ada masalah di dalam pendidikan kita. Memang saat ini pendidikan hanya sebatas ‘transfer of knowledge’ belaka, atau seperti kata Paolo Freire-seorang filosof pendidikan dari Brasil, mengatakan bahwa ‘pendidikan saat ini membelenggu kita, sebab pendidikan disetting hanya untuk memenuhi aspek kepentingan pasar, sehingga gagal menghadapi dinamika perubahan sosial yang ada dan senantiasa dipecundangi oleh kepentingan penguasa pasar.

Pada situasi inilah kita benar-benar membutuhkan pendidikan yang mampu memerdekakan dengan idealisme dan semangat juang untuk tidak mau menjadi pecundang. Sebab sejatinya, pendidikan adalah pembebasan dari belenggu kemiskinan,penindasan, dan kebodohan sehingga manusia menjadi manusia yang seutuhnya. Manusia yang bebas merdeka dalam berpikir, bersuara, dan bertindak. Ini dikarenakan pendidikan adalah upaya pengenalan diri mengenal potensi diri, jalan hidup, dan tujuan hidup untuk melayani dan mengabdikan diri bagi kehidupan.

Berkenaan dengan pendidikan yang membebaskan, kita bisa belajar banyak dari Tuhan Yesus. Ia dengan sengaja membekali para murid-Nya dengan ‘roh yang membebaskan’, sehingga para murid melakukan karya untuk membebaskan banyak orang yang tertindas. Baik ditindas oleh beragam penyakit, ketidakmampuan ataupun oleh kekuasaan. Para murid membawa misi ‘pendidikan yang membebaskan’. Kini setelah para murid usai melakukan karya, Tuhan Yesus dalam bacaan Injil Markus kita mengadakan ‘rékolèksi’ atau ‘mengajak para murid menilai apa yang telah mereka lakukan’. Ternyata, apa yang dilaporkan para murid sungguh indah. Banyak orang yang berani berpendapat tentang ‘siapakah Yesus’, bahkan para murid pun berani menyatakan imannya bahwa Yesus adalah Mesias.

Kemerdekaan berpendapat, dan keberanian menyuarakan isi hati inilah wujud dari ‘pendidikan yang membebaskan’. Hal ini berbeda sekali dengan pendidikan kita saat ini. Murid lebih menyerupai bejana-bejana yang akan dituangi air (ilmu) oleh gurunya. Karenanya, pendidikan seperti ini menjadi sebuah kegiatan menabung. Murid sebagai “celengan” dan guru sebagai “penabung”.

Secara lebih spesifik, Paolo Freire menguraikan beberapa ciri dari pendidikan yang disebutnya model pendidikan “gaya bank” tersebut:

  1. Guru mengajar, murid diajar.
  2. Guru mengetahui segala sesuatu, murid tidak tahu apa-apa.
  3. Guru berpikir, murid dipikirkan.
  4. Guru bercerita, murid mendengarkan.
  5. Guru menentukan peraturan, murid diatur.
  6. Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menyetujui.
  7. Guru berbuat, murid membayangkan dirinya berbuat melalui perbuatan gurunya.
  8. Guru memilih bahan dan ini pelajaran, murid (tanpa diminta pendapatnya) menyesuaikan diri dengan pelajaran itu.
  9. Guru mencampuradukan kewenangan ilmu pengetahuan dan kewenangan jabatannya, yang ia lakukan untuk menghalangi kebebasan murid.
  10. Guru adalah subyek dalam proses belajar, murid adalah obyek belaka.

 

Namun tidak demikian dengan Yesus, ia sengaja mendidik murid-murid-Nya dengan cara yang khusus, memberikan kepercayaan penuh para murid untuk berkarya dan mengadakan rékolèksi. Apa yang dilakukan oleh Yesus, ingin menyatakan bahwa seorang pendidik itu tidak lain seorang gembala. Bukan gembala yang berkarya karena upah, fasilitas dan kedudukannya, melainkan karena ‘panggilan hati’, sehingga fokusnya bukan dirinya sendiri melainkan muridnya. Memang sudah waktunya, arah pendidikan harus pada siswa, bukan pada guru.

Hal yang senada juga dikatakan oleh Daud dalam Mazmur 23. Daud menyadari bahwa hubungannya dengan Tuhan bukanlah sebuah hubungan simbiosis mutualisme, sebuah hubungan saling menguntungkan antara dua belah pihak. Hubungan Daud dengan Tuhan jauh melebihi kebutuhan-kebutuhan di dalam diri Daud sendiri dan itulah yang disebut dengan intimacy (keintiman). Hal inilah yang juga seharusnya ada dalam diri seorang guru, seorang pendidik dan seorang gembala, bukan ‘karena diuntungkan’, melainkan ‘hubungan hati, kelekatan akan karya dan tujuan’ bagi siswa atau jemaat yang telah dipercayakan oleh Tuhan.

Jika hal ini bisa dilakukan, kita akan yakin bisa mewujudkan seperti apa yang dikatakan oleh Rasul Paulus dalam bacaan Èfesus 2. Yaitu, tidak ada lagi tembok pemisah, tidak ada lagi perseteruan dan yang ada hanya perdamaian dan kesetaraan. Tentu hal inilah yang dirindukan oleh setiap manusia. Amin.

%d blogger menyukai ini: