Kasih Sebagai Kurban Persembahan
Markus 12: 28 – 34
Pada zaman Tuhan Yesus yang menjadi setting peristiwa Kitab-kitab Injil, ada dua kelompok yang berpengaruh di masyarakat namun cenderung saling bertentangan. Yang pertama ialah kelompok Saduki, termasuk golongan elit di masyarakat, memegang jabatan Imam besar, serta sangat menjunjung tradisi lisan. Dalam hal pengajaran dan pandangan, kelompok Saduki berseberangan dengan kelompok ahli Taurat. Ahli Taurat sangat menjunjung tradisi tertulis. Mereka mengumpulkan dan menguraikan berbagai peraturan dan hukum dalam Perjanjian Lama serta menerapkannya dengan ketat. Dalam perikop kita hari ini, nampaknya ahli-ahli Taurat puas akan jawaban Tuhan Yesus kepada kelompok Saduki tentang kebangkitan (Markus 12: 18–27) sehingga mereka mencari afirmasi kepada Tuhan Yesus tentang satu topik yang begitu digemari di kalangan pemuka dan elit agama Yahudi, yakni tentang “hukum yang paling utama.”
Topik tentang “hukum yang paling utama” adalah hal yang menarik bagi para ahli Taurat yang memiliki tradisi mengumpulkan dan menguraikan berbagai hukum dan peraturan agama. Ada dua kecenderungan di kalangan ahli Taurat, yakni mereka memperbanyak hukum dan peraturan agama dari Kitab Suci hingga sangat mendetail, atau berupaya meringkas seluruh hukum dan peraturan agama ke dalam satu-dua kalimat. Nah, ringkasan atau rangkuman hukum atau peraturan ini dianggap memiliki derajat yang tinggi dibandingkan hukum dan peraturan agama yang lain. Itulah sebabnya mereka bertanya kepada Tuhan Yesus, yang menjawab mereka dengan mengawalinya dengan shema (artinya: mendengar) yang merupakan kalimat penting agar orang-orang Yahudi selalu mengingat Allah yang Esa dan hukum-hukum-Nya (Ulangan 6: 4).
Tuhan Yesus mengatakan dua ayat yakni dari Ulangan 6: 5 dan Imamat 19: 18. Dengan menggabungkan dua ayat tersebut, Tuhan Yesus berpesan bahwa kasih kepada Tuhan Allah dan sesama manusia adalah kesatuan yang tak terpisahkan, dengan mengatakan “Tidak ada hukum lain yang lebih utama daripada kedua hukum ini.” Jawaban ini memuaskan ahli Taurat yang bertanya. Bahkan ia atau mereka ini sampai berefleksi lebih dalam tentang kurban kepada Allah sebagai ritus penting dalam agama Yahudi, namun jauh lebih penting untuk mengasihi Allah dan sesama manusia. Hal ini selaras dengan 1 Samuel 15: 22b “Sesungguhnya, mendengarkan lebih baik daripada korban sembelihan, memperhatikan lebih baik daripada lemak-lemak domba-domba jantan.” Hal ini juga bisa kita temukan dalam tulisan Rasul Paulus dalam Roma 13: 8b–9 “Sebab barangsiapa mengasihi sesamanya manusia, ia sudah memenuhi hukum Taurat. Karena firman: jangan berzinah, jangan membunuh, jangan mencuri, jangan mengingini dan firman lain mana pun juga, sudah tersimpul dalam firman ini, yaitu: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri!.” Kita dengan mudah menemukan kesinambungan firman Tuhan dalam Alkitab yang diutarakan oleh berbagai kitab yang berbeda dengan penekanan yang sama. Tema di atas yakni “Kasih sebagai Kurban Persembahan” adalah penghayatan kita bahwa kasih senantiasa bernilai dan bermakna luas termasuk salah satunya sebagai kurban persembahan kepada Allah. Dengan mewujudnyatakan kasih kepada Allah dan sesama manusia, kita sedang melakukan ritus kehidupan yang sejati. Ibadah dan persekutuan kita tentu saja penting sebagai sarana kita menghayati relasi kita dengan Allah. Namun kasih yang nyata dalam hidup sehari-hari haruslah diimplementasikan dengan sungguh-sungguh sebagai kurban persembahan kepada Allah. Setiap kali kita mengasihi sesama, dalam dan melalui apapun wujudnya, kita sedang memberikan kurban persembahan kepada Allah sebagai ketaatan kita kepada-Nya. Akhir kata, kita mengingat refrein Kidung Jemaat 246: Ibadah sejati, jadikanlah persembahan. Ibadah sejati: kasihilah sesamamu. Ibadah sejati yang berkenan bagi Tuhan, jujur dan tulus ibadah murni bagi Tuhan