Teguh Berkomitmen
Bahan PA Adi Yuswa Bulan Keluarga Tahun 2012, dikutip apa adanya dari Bahan MPHB Sinode GKJ di http://gkj.or.id/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=576
TUJUAN
Agar peserta mengetahui bahwa Tuhan menghendaki dirinya melakukan karya/pekerjaan dengan sebaik mungkin, seperti untuk Tuhan.
BACAAN ALKITAB
Kolose 3:23
PENJELASAN TEKS ALKITAB
Surat Kolose tergolong surat untuk gereja-gereja (surat am). Melalui surat ini penulis berusaha menegaskan hakikat Yesus sebagai penguasa kosmis atau alam semesta (1:15). Karena itu, umat Tuhan di Kolose diminta untuk tetap setia kepada-Nya (2:6 dst.). Panggilan untuk setia menjadi penting karena adanya ajaran-ajaran sesat yang dapat mengombang-ambingkan iman jemaat (2:8, 16-23). Tanda kesetiaan itu bagi penulis Kolose mestinya tampak dalam kehidupan keseharian mereka sebagai manusia baru (3:5 dst.). Manusia baru tak hanya persoalan keyakinan iman, tetapi juga praktik keseharian. Teks Kolose 3:23 ini merupakan nasihat penulis terkait dengan praktik hidup jemaat Kolose.
Nasihat praktis diawali dalam keluarga (3:18-22). Relasi keluarga berangkat dari nasihat: ”Dan segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan atau perbuatan, lakukanlah semuanya itu dalam nama Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur oleh Dia kepada Allah, Bapa kita” (3:17). Dari nasihat itu, tampak bahwa dasar relasi keluarga adalah rasa syukur kepada Tuhan.
Nasihat itu terus berlanjut pada relasi tuan dan hamba. Kolose menuliskan: ”Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia” (3:23). Itu berarti tindakan para hamba bukanlah baik hanya karena ada tuannya. Mentalitas hamba/budak membuat seseorang melakukan pekerjaan kalau diawasi oleh tuannya. Bagi Kolose, seluruh karya/pekerjaan harus dilakukan seperti untuk Tuhan.
Kalau disebut seperti untuk Tuhan, dalam praktik itu berarti manusia akan bersungguh-sungguh, bersemangat, tidak pandang buku dan sebagainya. Akan melakukan karya/pekerjaannya dengan baik, ada atau tidak pengawas/tuan.
Firman Tuhan ini berbicara soal motif. Apa yang mendorong kita melakukan sebuah perbuatan. Yang disebut baik adalah, ketika yang kita lakukan itu dengan segenap hati kita, didorong oleh hati dan seperti untuk Tuhan. Hal itu dapat dimulai dari kesadaran, dari lubuk hati yang paling dalam, bahwa yang saya lakukan adalah untuk Tuhan. Tuhan hadir ketika saya berkarya, dan Tuhan menyenangi karya saya yang sungguh-sungguh itu.
PENERAPAN DALAM KEHIDUPAN
Dalam tradisi pemakaman suku Toraja, ada kebiasaan meletakkan jenasah para leluhur di sebuah tebing yang tinggi dengan posisi jenasah melihat ke bawah, ke arah lokasi pemukiman penduduk yang padat. Maksudnya adalah bahwa leluhur mereka yang sudah meninggal masih terus mengawasi tingkah laku orang-orang yang masih hidup, dan leluhur itu ingin kehidupan generasi sesudahnya tetap menjaga nilai-nilai tradisi yang baik. Seperti norma moral dan etiket yang sudah berlangsung selama ini turun temurun. Mereka takut melakukan kejahatan karena di kontrol atau diawasi oleh leluhurnya yang siap menghukum bila ada pelanggaran.
Kesadaran akan leluhur yang mengawasi mungkin saja menghasilkan seorang yang mampu melakukan kebaikan. Namun, bagaimana jika kesadaran itu hilang? Apakah ia tetap melakukan kebaikan, atau ia melakukan kesewenang-wenangan. Inilah yang disebut mentalitas budak! Melakukan sesuatu karena merasa diawasi.
Padahal Kristus sudah memerdekaan kita. Gereja – komunitas orang yang dimerdekakan itu –dipanggil untuk menunjukkan mentalitas orang merdeka, yang dengan sadar melakukan segala sesuatu seperti untuk Tuhan. Begitu pula keluarga Kristen yang sering disebut gereja kecil (eklesiola). Sudahkah mentalitas orang merdeka itu dimiliki oleh orang Kristen? Nasihat surat Kolose ini mengajak kita untuk memiliki mentalitas orang merdeka. Yang melakukan segala sesuatu dengan kesadaran penuh, bahwa itu ditujukan untuk Tuhan.
Melakukan dengan sungguh-sungguh juga berarti melakukan dengan dorongan hati yang tulus. Berangkat dari kejujuran. Tindakannya bukan untuk dilihat orang, apalagi mencari pujian. Semangat inilah yang membuat orang menciptakan motto Carpe Diem (latin: Petiklah Hari). Tentang ini Andar Ismail dalam Selamat Panjang Umur menulis: “… manfaatkanlah hari, jangan sampai ada terlewat tanpa arti. Jangan sampai ada hari yang menjadi sia-sia karena kita hanya bermalas-malas tanpa memberi isi pada hari itu. Jangan sampai ada hari yang menjadi rusak karena kita mewarnainya dengan rasa benci, iri, atau cuma memikirkan diri sendiri. Jangan ada hari yang terlewat tanpa sukacita…”
PERTANYAAN PANDUAN UNTUK DIDISKUSIKAN
- Apa yang telah anda lakukan/kerjakan belakangan ini? Menurut anda, apakah yang anda lakukan/kerjakan itu berharga?
- Salah satu persoalan lansia adalah kemunduran kekuatan fisik. Bagaimana anda melihat kenyataan itu jika dikaitkan dengan Carpe Diem? Bagaimanakah caranya mengisi hari-hari tua dengan berarti?
- Apakah firman Tuhan hari ini menolong anda untuk secara kreatif mengisi hari-hari tua? Apakah melakukan kejujuran termasuk mengisi hari tua dengan berarti?